KEDUA Jam menunjukkan pukul dua siang kala itu. Aku sedang dalam keadaan tidak semangat semangatnya. Seperti semakin hilang kepercayaan diri. Bahkan hampir hilang jati diri. . . "Gimana hasilnya, udah ada kabar belum? " tanya laki laki itu basa basi. . "Yang dibutuhkan hanya satu, yang diambil ya yang nomor satu, yang terbaik" jelas ku dengan malas memberikan penjelasan. Laki laki itu diam. Belum sempat membalas omonganku. . . "Kenapa sih yang kedua selalu ga dianggap atau ga terlihat? Yang selalu jadi sorotan adalah yang pertama, yang terbaik. Dalam ajang, kontes, perihal juara atau peringkat apapun, yang pertama yang selalu di puja puja. Sementara yang kedua? Yang mencapai peringkat kedua tidak pernah terlihat. Seakan tidak bernilai usaha terbaik yang ia usahakan" tambah omonganku yang sedikit panjang. Nafasku kemudian mulai tak beraturan. Air mata turun, tak bisa ditahan. Laki laki itu hanya memegang pundak, me
Bukan hal yang kukira baik untuk sebuah permulaan tahunbaru Bukan kah seharusnya ada harapan baru? Mengapa justru yang hadir ialah air mata yang luruh? Saya tak pernah membayangkan akan sesulit ini bertahan kesekian kali Bukan kah sering saya mengulang hal yang sama? menjadikannya tetap yang pertama, tapi seiring itu pula mengapa membuat saya hendak menyerah, mencoba membiarkannya dengan yang mampu membuatnya lebih bahagia Mengapa harus ada yang ketiga jika berdua saja belum tentu benar bahagia? Tunggu. Apakah saya salah mengartikan? Jangan jangan justru sayalah pihak ketiga tersebut Penghalang diantara kalian wahai dua jiwa Saya bungkam Lebih dari diam Enggan berprasangka terlalu mendalam Mengapa ada banyak ke-iri-an yang mendendam? Jujur Saya hancur Dimana sang pelipur? Semua harapan kabur Semua mimpi seakan menge-blur Mengapa saya tak pernah bisa benar benar nyata? mengapa harus ada dia? mungkinkah saya tak pernah menghadirkan b