KEDUA
Jam menunjukkan pukul dua siang kala itu. Aku sedang dalam keadaan tidak semangat semangatnya. Seperti semakin hilang kepercayaan diri. Bahkan hampir hilang jati diri.
.
.
"Gimana hasilnya, udah ada kabar belum? " tanya laki laki itu basa basi.
.
"Yang dibutuhkan hanya satu, yang diambil ya yang nomor satu, yang terbaik" jelas ku dengan malas memberikan penjelasan.
Laki laki itu diam. Belum sempat membalas omonganku.
.
.
"Kenapa sih yang kedua selalu ga dianggap atau ga terlihat? Yang selalu jadi sorotan adalah yang pertama, yang terbaik. Dalam ajang, kontes, perihal juara atau peringkat apapun, yang pertama yang selalu di puja puja. Sementara yang kedua? Yang mencapai peringkat kedua tidak pernah terlihat. Seakan tidak bernilai usaha terbaik yang ia usahakan" tambah omonganku yang sedikit panjang. Nafasku kemudian mulai tak beraturan. Air mata turun, tak bisa ditahan.
Laki laki itu hanya memegang pundak, menguatkan tanpa omongan.
.
.
"Aku ga suka jadi yang kedua. Tapi seringnya aku selalu jadi yang kedua, dan menjadi kedua tak pernah bernilai dimanapun" ujarku dengan terbata bata.
.
"Kamu tetap terbaik, meski hanya menjadi yang kedua" laki laki itu mulai angkat bicara. .
"Memang manusia manapun ingin menjadi yang nomor satu, tak suka menjadi yang kedua. Tapi ketahuilah kedua tidak selalu buruk seperti yang kau sangka" lanjutnya.
.
"Manusia tidak ingin atau bahkan senang menjadi yang kedua. Tetapi ingin dan senang memiliki kedua. Kedua mata, kedua telinga, kedua kaki.
Tak terbayang hanya punya satu saja. Kau harusnya bersyukur meski seringkali menjadi yang kedua, kau juga memiliki kedua dari hal hal yang ku sebutkan tadi" tegasnya.
Aku perlahan tersenyum.
.
"Coba kamu sebutkan, apa yang tidak kamu miliki dari hal hal yang kusebutkan tadi (kedua mata, kedua telinga, kedua kaki)? Apa yang seharusnya kau miliki dua tapi hanya kau miliki satu?" laki laki itu angkat bicara kembali. .
"Kedua orangtua" jawabku singkat.
.
"Orangtuaku hanya tinggal ibu ku saja kan" tertawa samar.
.
.
.
Laki laki itu terdiam, tak ingin lebih banyak lagi berkata kata. Ia paham luka wanitanya yang mendalam.
Komentar
Posting Komentar